-->

Kolaborasi dan Sosialisasi Mewujudkan Keterbukaan Informasi Publik Opini - Arif Purnama Putra



Semakin berkembangnya suatu negara, maka semakin tinggi pula tingkat kebutuhan sumber informasi yang harus disajikan Badan Publik. Ditambah lagi informasi dalam bentuk publik merupakan kebutuhan penting bagi masyarakat itu sendiri. Begitu juga yang seharusnya diterapkan di negara-negara yang memakai sistem demokratis, termasuk Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia sudah termasuk dalam klasifikasi bagus dalam menyediakan informasi untuk publik. Beberapa upaya-upaya tersebut dapat kita lihat dari ruang-ruang/aplikasi/website/media sosial yang dibawah naungan instansi pemerintah seperti kominfo salah satunya. 

Seharusnya upaya-upaya tersebut juga dilakukan usaha sosialisasi kepada masyarakat yang merata, bukan tiba-tiba muncul sebagai gebrakan baru—kemudian tidak bertahan lama. Nah, kemudian apakah keterbukaan informasi publik tersebut secara massif juga berjalan di propinsi? Dengan ragam agenda—jutaan ruang-ruang digital yang dibentuk tanpa jelas fungsi dan konten yang disajikan oleh pemiliknya. Semisalnya yang terjadi di Sumatra Barat. Ruang informasi yang terbilang terbatas di propinsi ini kerap menjadi bulan-bulanan masyarakat dibeberapa hal. Kita ambil contoh website pembuatan KTP digital di Padang. Melalui observasi ke lapangan yang penulis lakukan, banyak masyarakat yang bermasalah dalam pembuatan KTP online selalu mengeluhkan keterbukaan informasi yang ada dalam website ini. Contoh; pendaftaran pelayanan KTP online dibuka dari pukul 08:00 wib, dan tutup saat kuota untuk hari itu penuh. Anehnya, buka jam 8 atau 9 malah sudah penuh. Hampir dalam jangka waktu seminggu dilakukan tiap hari, tetap jam 9 sudah tutup alias sudah penuh kuota. Secara logika, untuk sekelas Disdukcapil Padang, saya rasa ini tidak masuk akal. Masa dalam waktu seminggu semua orang di kota Padang membuat KTP. 

Setelah ditelusuri ke kantornya langsung, ternyata memang website tersebut yang seringkali eror alias tidak bisa dibuka, sehingga bagi masyarakat yang beruntung saja bisa mendaftar secara online. Saya pikir ini alasan yang tidak berlandaskan dasar-dasar pelayanan masyarakat, sebagaimana yang kita ketahui pelayanan masyarakat adalah suatu wadah bagi masyarakat melakukan kepentingan serta hak-hak mereka terkait pemerintahan. Sedangkan pihak pemerintahan atau Badan Publik itu sendiri tidak melakukan keterbukaan informasi yang jelas. Dalam kasus pembuatan KTP online ini barangkali hampir merata terjadi di Sumatra Barat, terlebih lagi karyawan yang mengurus websitenya bukanlah yang ahli dibidang tersebut; alias fungsioner. Layanan-layanan ini menjadi fatal bila kesalahan-kesalahan penyampaian, sehingga memberi ruang kepada oknum-oknum memanfaatkan celah tersebut. Semisalnya pencurian data, pembobolan,calo dan lainnya. Kurangnya sosialisasi dan keterbukaan, membuat upaya-upaya yang dilakukan pemerintahan pusat tinggal hisapan jempol belaka di propinsi.

Sosialisasi yang penulis maksud disini bukan melulu kepada masyarakat, tetapi paling utama adalah kepada internal pengurus program tersebut. Meski demikian, dari sekian banyak propinsi di pulau Sumatra, penulis rasa Sumatra Barat masih terbilang lumayan dalam keterbukaan informasi. Walau jika harus diberi angka, maka Sumatra Barat diangka 40% dalam keterbukaan informasi publik. Mengapa demikian? Dalam hal pendidikan/memperjuangkan hak/perubahan aturan/dan keputusan-keputusan lainnya, Sumatra Barat adalah salah satu propinsi yang selalu terlambat memberitakan kepada masyarakatnya. Penulis jadi teringat banyak kasus-kasus dan informasi-informasi penting yang amat terlambat dipublik pihak pemerintah Sumatra Barat. Pertama, survey tentang LGBT, Sumatra Barat masuk 5 besar terbanyak di Indonesia. Kedua, dua tahun belakangan Sumatra Barat dianggap propinsi paling intoleran. 3. Data-data yang sifatnya publik tapi tidak pernah dipublik, semisalnya pergantian-pergantian kepala instansi pemerintah atau perombakan anggota. 4. Tidak jalannya secara efektif akun media sosial, yang seharusnya menayangkan kegiatan pemerintah untuk masyarakat, malah menayangkan promo-promo semata. 5. Komunikasi antar instansi sangat amburadul, sehingga tidak menghasilkan kolaborasi antara Badan Publik berjalan dengan baik. 6. Miskin kerja sama. 7. Sangat takut menyatakan diri sebagai tidak cakap dalam teknologi dan informasi, sehingga hanya menghasilkan konten asal-asalan yang dibuat karyawan fungioner (bukan bermaksud merendehkan posisi karyawan fungsioner). 

Bicara keterbukaan informasi publik di Sumatra Barat adalah bicara hak yang seharusnya diketahui masyarakat luas. Pemerintahan bertanya-tanya soal keterbukaan informasi publik pada masyarakat, nanti ditanya balik gagap. Begitu barangkali yang terjadi di Sumatra Barat saat ini. Banyak dinas-dinas melakukan agenda-agenda yang tidak efektif dengan latah “keterbukaan informasi publik” padahal mereka sendiri tidak benar-benar tau mana yang publik tersebut. Minim sosialisasi tapi mau meluncurkan banyak agenda-agenda informasi keterbukaan, nanti ditanya masyarakat tentang keterbukaan itu sendiri, malah menjawab dengan alibi kita hanya menjalankan tugas dan prosedur saja. 

Mungkin ini terdengar sentimental sekali, tapi begitulah adanya yang penulis lihat sebagai masyarakat, dalam obrolan-obrolan dan observasi-observasi singkat penulis; baik pengalaman pribadi ataupun pengalaman orang lain. Lalu, bicara keterbukaan informasi publik, apakah pihak terkait sudah melakukan sosialisasi efektif mengklasifikasikan informasi tersebut kepada masyarakat. Seperti, dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik yang diundangkan pada 30 April 2008 mengisyaratkan bahwa peyelenggaraan negara harus dilakukan secara terbuka atau transparan. Setiap orang dijamin haknya untuk memperoleh informasi publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ini antara lain bertujuan agar penyelenggaraan Negara dapat diawasi oleh publik dan keterlibatan masyarakat dalam proses penentuan kebijakan publik semakin tinggi. Keterlibatan tersebut pada akhirnya akan menghasilkan penyelenggaraan Negara yang lebih berkualitas. Partisipasi seperti itu menghendaki adanya jaminan terhadap keterbukaan informasi publik. Kita bisa membaca kelanjutan jabaran ini di dalam undang-undang tentang keterbukaan informasi publik menjadi landasan hukum yang mengatur hal-hal terkait. Sederhananya, tentang keterbukaan informasi publik ini wajib diberitahukan kepada masyarakat. Apakah pemerintahan yang mengetahui kebijakan tersebut sudah melakukan upaya? Apakah hasil dari program-program tersebut berjalan dengan baik? Tentu mereka yang bisa menjawabnya. Kalau penulis melihat, Sumatra Barat tak ubahnya seperti pepatahnya sendiri, “rancak di labuah”. Bagaimana minimnya keterbukaan informasi publik sangat berdampak kepada sumber daya manusia di Sumatra Barat, melek teknologi tapi sangat minim informasi. Barangkali pemerintah Sumatra Barat berpikir dengan majunya teknologi, maka maju pula keterbukaan informasi publik dengan sendirinya. Bagian ini coba penulis tekankan sedikit, bahwa Informasi publik yang diharapkan adalah informasi yang datang dari Badan Publik pemerintah dengan info-info sebenarnya tentang pemerintahannya ataupun hal-hal yang sangat penting diketahui masyarakat luas. 

Kelewatan menggunakan teknologi hanya menghasilkan sumber daya manusia narsis, dan Sumatra Barat sudah memiliki bekal ini, tinggal bagaimana pihak terkait memanfaatkannya saja; mau dimanfaatkan sebagai media promosi yang efektif, atau membiarkan mereka menelan informasi-informasi tidak jelas. Atau untuk mempermudah pekerjaan, biarkan saja masyarakat menelan informasi-informasi di ruang-ruang publik, tanpa mengambil andil untuk menetralisir informasi liar tersebut. Tentu kita di Sumatra Barat tidak mengharapkan ini. Keterbukaan Informasi Publik penulis rasa memang bukan bagian yang terlalu genting di propinsi Sumatra Barat, ini bisa menjadi sebuah fenomena gunung es. Di Sumatra Barat penulis rasa keterbukaan ruang publik yang didapatkan dari sumber tidak jelas sudah kelewatan, terbilang liar di Sumatra Barat. Liar dalam artian sangat dangkal. Serba terlambat. Sudahlah terlambat, tau sedikit, paling benar pula saat menyajikannya ke ruang publik. Semisalnya berita, isu-isu politik, isu sosial, isu pendidikan, isu gender, dll. Sumatra Barat hanya tinggal segerombolan orang-orang yang membaca dan menanyangkan apa yang sudah ditulis orang-orang di luar pulaunya. Lebih dari itu, keterbukaan informasi publik di Sumatra Barat hanyalah semu belaka, menayangkan informasi yang bisa diketahui seluruh umat manusia. Informasi yang bocah sekolah dasar juga mengetahuinya. Seperti keterbukaan informasi BBM naik, nasib honorer, wali kota terlama dalam sejarah tanpa wakil, dan masih banyak lagi tetek bengek keterbukaan informasi publik di Sumatra Barat yang menurut mereka keterbukaan publik, padahal tak ayal hanya informasi sepintas lalu saja. 

Apa yang patut kita harapkan dengan sistem demikian—selain pembaharuan dan kolaborasi dengan semua lini yang ada. Misalnya, memanfaatkan mahasiswa di perguruan tinggi untuk melakukan kerja sama dengan pemerintah terkait dalam mempublik informasi secara efektif, secara tampilan yang keren sebagaimana zamannya. Kemudian membuat kelas-kelas, membentuk mereka kemudian memberikan sebuah program kepada anak-anak muda tersebut untuk melakukan sosialisasi di lingkungannya (kalau bisa berkala). Tidak semua tugas ini melulu persoalan pemerintah. Pemerintah hanya fasilitator, gunakanlah itu untuk membantu, bukan malah mendiamkan di kantor masing-masing. 

Upaya-upaya kolaborasi adalah salah satu altrenatif paling efektif saat ini. Kemudian program-program sosialisasi tersebut bisa dikombinasikan dengan pemerintah kabupaten/nagari dan kelompok-kelompok non pemerintahan. Penulis rasa, pola seperti ini sudah dilakukan oleh pihak terkait. Hanya saja, tetap menjadi proyek musiman.



Penulis

Arif Purnama Putra, lahir di Surantih, Pantai Barat Sumatra. Buku tunggalnya yang telah terbit “Suara Limbubu” (JBS, Yogyakarta 2018) dan sebuah novel “Binga” (Purata Publishing, 2019). Selain menulis satra, Arif juga menulis karya jurnalistik dan ilmiah; esai perjalanan, artikel, opin dan resensi. Karya-karyanya pernah dimuat beberapa media, seperti Suara Merdeka, Haluan, Solopos, Rakyat Sultra, Tempo, Minggu Pagi dan lainnya. Sekarang berkegiatan di komunitas Serikat Marewai, redatur di website marewai.com. Tergabung dibeberapa antologi bersama; Penulisan Esai Sejarah Jalur Rempah di Pantai Barat dan Timur Sumatra, 2021, BPCB Sumbar, dan lainnya.

 

Arif P. Putra
Saya seorang pengarang; menulis Puisi, Cerpen, dan Novel. Saya juga menulis tulisan Ilmiah sebagai alternatif lain mengasah kemampuan menulis saya. Ini merupakan ruang untuk membagikan tulisan-tulisan yang saya hasilkan, baik sudah dimuat media lain ataupun spontan.

Baca Lainnya

Post a Comment

Ikuti Sang Penyair Arif P. Putra