-->

Haluan Edisi 13 Desember 2020 | Mengantar Mempelai Pria - Arif P. Putra

 



Sekitar jam 20:30, orang-orang berlarian menuju sebuah pesta. Sudah dari tadi terdengar dentuman bass orgen tunggal. Kebetulan sekali di kampung sedang ada pesta pernikahan salah seorang teman. Kabarnya dia baru saja pulang dari rantau, pulang kampung hanya melangsungkan pernikahan saja. Mempelai wanitanya juga dari kampungku. Dua orang ini bertemu di rantau, meski begitu, mereka adalah teman semasa kecil. Selesai salat di masjid, orang-orang tergesa menuju acara pernikahan itu. Tentu saja, berita itu disampaikan oleh pengurus masjid sebelum salat isya selesai.

Orang-orang sepakat untuk datang ke pesta pernikahan itu. Alasannya sederhana saja, karena sejak tadi pagi tidak ada satu orang pun yang datang ke rumah itu. Sudah barang jelas tidak ada warga datang ke pestanya, sebab sejak lama pula mereka tidak pernah pergi ke rumah warga bila sedang mengadakan pesta. Biasanya di kampung kan begitu, kalau rajin datang ke pesta orang, pasti nanti akan didatangi warga lain juga. Keluarga yang melangsungkan pesta pernikahan anaknya itu memang terbilang jarang pergi ke acara warga. Lain halnya dengan mempelai wanita, keluarganya agak rajin datang ke pesta warga di kampung. Makanya bila dibandingkan, lebih ramai pesta di rumah mempelai wanita ketimbang mempelai pria. Tapi kalau urusan orgen, jangan ditanya lagi.

Orang-orang telah sampai di tempat pesta berlangsung, terlihat seorang lelaki yang kurang waras sedang menyumbangkan lagu, tapi suaranya bagus. Di bawah pentas, tidak ada penonton. Di atas pentas, hanya terlihat tiga orang biduan sedang sibuk memainkan telepon genggam, yang lain sibuk bercerita. Kemudian garin masjid bertanya kepada pemilik rumah, sembari basa-basi apakah sudah ada persiapan untuk mengantarkan mempelai pria ke rumah mempelai wanita. Walaupun jaraknya sangat dekat, tentu harus ada persiapan juga. Ayah mempelai pria itu menjawab pertanyaan dengan sedikit ketus sambil menyuruh orang-orang dari masjid untuk duduk.

Tidak lama berselang, datang seorang pemuda mengabarkan persiapan dari rumah mempelai wanita sudah selesai. Sudah saatnya mempelai pria diantar ke rumah pujaannya itu. Belum selesai pemuda itu bicara, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari orgen tunggal. Orang-orang dari dalam rumah tergesa melihat ke luar. Tampak crew orgen sedang memeluk pria setengah waras tadi. Kemudian seorang biduan mengadu kepada pemilik pesta, katanya orang itu membuka celananya sambil memainkan jagoannya di depan biduan. Tentu itu tidak lazim lagi, padahal suara orang setengah waras itu lumayan merdu.

Bagaimana pula orang gila itu dapat naik pentas dan menyumbangkan lagu. Seorang teman mempelai pria dari luar kampung bertanya padaku begitu. Aku jawab masa bodoh, namanya ada orgen di kampungnya, tentu saja ia boleh menyumbangkan lagu satu atau dua judul. Lalu orang gila itu disuruh pergi, ia tidak melakukan perlawanan sama sekali. Hanya saja ia tetap menatap ke arah biduan-biduan yang sibuk menutupi dadanya.

Lantaran suasana mulai kondusif, orang-orang bersiap untuk mengantarkan mempelai pria ke rumah mempelai wanita. Tidak banyak memang, hanya terhitung 20 orang saja yang ikut berpatisipasi mengantarkan peristiwa sakral itu. Dari keluarga mempelai pria, nampak ayah dan ibunya serta beberapa orang sanak saudara. Lalu ditambah 7 orang jamaah masjid. Untung saja masih ada yang mau salat ke masjid, kalau tidak palingan muazin dan garin saja yang datang.

 Hanya butuh waktu 10 menit, rombongan mempelai pria sampai di rumah mempelai wanita. Seperti biasa, orang-orang melempar pantun. Saling balas pepatah petitih “kuno”. Itu menurut mempelai pria, aku mendengar umpatan dia. Aku memegang payungnya, padahal aku bukan bagian dari keluarga. Aku diam dan pura-pura mendalami peran dalam adegan pengantaran mempelai pria itu. Terjadi percakapan sengit, hampir satu jam kami berdiri di depan pintu rumah mempelai wanita. Pihak mempelai wanita sepertinya sudah mempersiapkan momen tersebut sejak tadi pagi, sedangkan mempelai pria alakadar saja. Tukang balas pantun itupun adalah seorang jamaah masjid yang sewaktu diperjalanan tadi dipaksa untuk mengambil peran berbalas pantun. Kami sudah membagi peran dalam adegan-adegan malam itu, untung saja aku dapat peran sebagai pemegang payung mempelai pria.

 Akhirnya momen itu selesai, kami langsung diperbolehkan masuk membawa mempelai pria. Di sekelilingku, terlihat banyak sekali pemuda dan pemudi hadir. Dari yang tua sampai yang muda hadir di rumah mempelai wanita. Sudah aku jelaskan sejak awal, keluarga mempelai wanita memang rajin sekali pergi ke pesta. Sudah pasti banyak pula warga lain hadir. Aku lihat tidak ada acara orgen segala, hanya panggung kecil buat empat speker berdiri: satu set dvd memutar lagu misramolai khas daerah pesisiran. Pituah-pituah rantau didendangkan penyanyi misramolai, seperti cemooh pula liriknya. Kelamaan di rantau lupa tepian mandi, kelamaan di kampung hapal pula aib orang. Orang-orang bersorak, ada yang bergoyang santai, ada yang menatap tajam ke arah mempelai pria.

***

 Aku tau betul orang-orang menyimpan benci kepada mempelai pria, apalagi kepada ayahnya yang terlihat gagah malam itu. Lebih gagah pula dia dari anaknya. Ibunya berdandan biasa saja, bukan tidak pandai bergaya, tapi perempuan itu memang suka bergaya di mulut ketimbang dandan pakaian. Kami tetap masuk rumah meski banyak mata manusia secara tidak langsung sudah menghakimi kami. Bagaimana tidak, seharusnya tidak ada jamaah masjid yang mengantarkan mempelai pria. Orang-orang sudah merencanakan itu jauh-jauh hari. Bila keluarga itu membuat pesta, jangan ada yang ikut serta. Tapi hal tersebut tidak akan sanggup dilakukan untuk jamaah masjid. Pengurus masjid sudah pasti netral, tidak boleh berpihak pada keputusan-keputusan yang memberatkan seseorang.

 Aku sebenarnya agak malas menyebutkan nama seseorang dalam cerita ini, takut tersinggung pula bila ia membacanya nanti. Namanya Sap Eso, ia adalah seorang garin, dia yang memohon kepada jamaah untuk ikut serta mengantarkan proses pernikahan itu. Ia sampaikan beberapa hal penting terkait dengan masalah warga yang tidak mau ikut serta pada pesta pernikahan tersebut. Ia berusaha keras menenangkan hati jamaah yang setidikit itu, beruntung Sap Eso memenangkan perdebatan itu dengan beberapa dalil yang pernah ia baca. Ia sebenarnya juga tidak ingin ikut serta pada acara pernikahan tersebut, tapi karena beberapa hal, ia harus membujuk jamaahnya untuk datang. Sap Eso memang pandai pula mengambil hati.

 Alasannya, karena ayah mempelai pria suatu waktu mendatangi masjid. Ketika itu selesai salat jumat si ayah datang menemuinya. Dia kira lelaki itu ikut salat jumat tadinya, tapi ternyata lelaki itu salat jumat di masjid kampung sebelah. Ayah mempelai pria itu memang lebih suka salat berjamaah di luar kampung ketimbang masjid yang ada di kampung. Sudah tidak rahasia lagi bagi warga kampung. Sap Eso menyambutnya dengan hangat, tapi pria itu tanpa basa-basi langsung mengutarakan maksud dan tujuannya datang ke masjid, yaitu meminta Sap Eso dan jamaahnya untuk hadir pada malam pengantaran mempelai pria. Kala itu Sap Eso juga basa-basi, biasanya yang mengantarkan mempelai pria itu adalah teman-teman dari mempelai tersebut. Kebanyakannya begitu, bukan orang yang sudah menikah atau sumando pula yang mengantarkan kawin, sebut Sap Eso kepadanya. Maksud Sap Eso bukan tentang mengantarkan mempelai secara adat, tapi mengantarkan secara pemuda kampung yang memiliki kawan sepermainan/selapik sepertiduran.

 Namun karena beberapa alasan dari ayah mempelai pria, Sap Eso mengiyakan ajakan itu. Dia merasa kasihan juga bila tidak ada satu orangpun yang mengantarkan anaknya kawin. Apa pula kata orang-orang luar tentang pengurus masjid, masa membiarkan sebuah keluarga mengurus pesta anaknya sendiri, mana tau keluarga tersebut pernah memberi sumbangan untuk masjid atau apalah menyangkut kegiatan di masjid. Siapa tau kan. Di kedai, Sap Eso ditanyai banyak pertanyaan oleh warga kampung, tapi ia tetap menjawabnya sebagai seorang garin. Ia berusaha netral pada setiap masalah yang ada di kampung. Dia benar-benar mendalami peran sebagai garin masjid, sampai ia harus pura-pura, bahwa ia pernah dimaki ayah mempelai pria itu. Tapi benci tak harus mengucilkan keluarganya. Begitu kata Sap Eso di lepau.

***

 Suatu hari Sap Eso pernah mempermasalahkan pematang sawah, sawah dia dan lelaki itu bersebelahan. Setiap Sap Eso ke sawah, tiap itu pula pematang sawah semakin kecil. Parit untuk mengairi sawah yang dibuat Sap Eso selalu tertutup, entah siapa yang melakukan. Maka suatu hari ia datang ke sawahnya tengah malam, di sanalah dia memergoki orang yang selalu menutup air sawah yang dibuatnya. Lelaki itu adalah ayah dari mempelai pria. Sap Eso bertanya kepadanya, tapi malah mendapat makian darinya. Ia marah-marah kepada Sap Eso, ia sebut Sap Eso sudah kelewat batas padanya. Padahal ia mengairi air sawahnya dari irigasi langsung ke sawah. Memang, waktu itu panen dari sawah Sap Eso lebih banyak ketimbang sawah lekaki itu.

 Tidak sampai disana saja, lelaki itu menyebut Sap Eso telah memperburuk isi sawahnya. Di kedai-kedai, lelaki itu menceritakan demikian. Sampai Sap Eso akan diberhentikan sebagai garin lantaran persoalan air sawah itu merembes kebanyak mulut. Sap Eso menjadi bahan gunjingan, orang-orang berprasangka bahwa panen yang dihasilkan sawah dia berkat merugikan orang lain. Padahal tidak ada seorang pun yang tau, Sap Eso merawat sawahnya dengan baik. Tiga kali sehari ia lihat sawahnya, karena ia tau hanya itu harapan satu-satunya untuk bertahan hidup. Sap Eso dan keluarganya bergantung pada hasil panen sawah, terlebih istrinya sudah tidak berjualan sayur lagi, karena kebun tersebut juga ditanam padi. Orang-orang berpikir hal itu benar-benar dilakukan Sap Eso supaya toke-toke hanya berniaga dengannya.

 Namun, setiap masalah pasti akan bertemu benang merahnya. Sama halnya dengan yang dialami Sap Eso, hal serupa akhirnya juga dialami pemilik sawah lain. Lelaki itu akhirnya kepergok juga oleh beberapa orang sedang menutup aliran air sawah warga. Saat itulah orang-orang sadar bahwa selama ini ia telah menebar fitnah terhadap garin masjid, walau Sap Eso tidak pernah berusaha menjelaskan kejadian aslinya.

 Sejak hari itu, kejadian demi kejadian selama ini terbongkar. Mulai dari kebiasaan istrinya mengisi uang kertas pecahan lima ribu rupiah ke acara pernikahan, sampai kebiasaan lelaki itu meminta rokok di kedai yang berada di luar kampung. Lelaki itu tidak kapok juga ternyata, ia bawa fitnah-fitnah lain ke luar kampung. Istrinya lain pula, uang lima ribu selalu digadang-gadang bila tidak dapat buah tangan dari acara yang dihadiri. Sebenarnya banyak hal yang diketahui sang garin menyoal ayah mempelai pria, ditambah lagi ayah dan anak hampir memiliki sifat yang sama. Mempelai pria itu juga pernah suatu waktu menyombongkan pencapaiannya di rantau, ketika pemuda-pemuda kampung meminta sumbangan kepadanya. Saat itu para pemuda akan mendirikan pos ronda, agar tiap malam ada yang menjaga kampung dari tangan maling atau musibah lainnya. Tapi pria itu malah mencemooh pemuda-pemuda yang mencoba mengutarakan maksud dan tujuan melalui telepon. Ia sebutkan bahwa masyarakat kampung kalau membangun apa-apa selalu meminta sumbangan kepada perantau, tapi kerjaannya tidak jelas.

Para pemuda dulu memang pernah meminta sumbangan kepadanya, dengan senang hati ia membantu lima karung semen, waktu itu pemuda mendirikan lapangan volly. Tapi pria itu kesal, lantaran uang untuk lima karung semen itu hanya dibelikan pemuda dua karung.

 Begitu juga dengan ayah mempelai pria itu, dulu ia adalah salah satu pengurus masjid di kampung. Sejak kejadian hilangnya uang infak, ia diberhentikan. Sejak saat itu pula ia tidak pernah lagi salat berjamaah ke masjid di kampung. Entah apa yang membuat keluarga itu menghindar dari masjid, sampai tidak pernah hadir satu kalipun ke acara-acara di masjid. Bukan hanya ayahnya saja, sampai istrinya juga begitu. Sap Eso menjelaskan itu kepada jamaah sebelum mengantarkan kawin si mempelai pria, barangkali saja suami istri itu merasa terasingkan, sudah merasa aneh mau mulai dari mana lagi untuk merapat ke masyarakat. Selain itu, Sap Eso juga menyampaikan perbuatan-perbuatan baik keluarga tersebut, sebelum semrawut seperti sekarang.

***

 Akhirnya pernikahan itu berjalan dengan khidmat, dua keluarga resmi besanan. Orang-orang tetap menyimpan bisik gaduh, suaranya sayup-sayup sampai. Aku duduk di antara ayah dan ibu, mematung bagai orang sawah yang kehilangan padi. Sap Eso benar bijaksana, memelukku dan mendoakan segala kebaikan diikuti beberapa orang pemuda, entah datang dari mana.

“Tidak ada yang tertinggal, berangkatlah, ini sudah waktumu berlayar.”


Arif P. Putra, berasal dari Surantih, Kab. Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Buku tunggalnya yang telah terbit “Suara Limbubu” (JBS, Yogyakarta 2018) dan sebuah novel “Binga” (Purata publishing, 2019). Karya pernah dimuat beberapa media, seperti Suara Merdeka, Haluan, Solopos, Rakyat Sultra, Minggu Pagi dan lainnya. Bisa ditemui dimedia sosialnya; IG: @arif_p_putra, FB: Arif P Putra dan pemikiranlokal.com 


Arif P. Putra
Saya seorang pengarang; menulis Puisi, Cerpen, dan Novel. Saya juga menulis tulisan Ilmiah sebagai alternatif lain mengasah kemampuan menulis saya. Ini merupakan ruang untuk membagikan tulisan-tulisan yang saya hasilkan, baik sudah dimuat media lain ataupun spontan.

Baca Lainnya

Post a Comment

Ikuti Sang Penyair Arif P. Putra