-->

Opini Publik Tentang Keterbukaan Informasi Publik - Arif Purnama Putra




Keterbukaan informasi publik amat penting dilaksanakan sebaik mungkin. Sebagaimana peraturannya, bahwa keterbukaan informasi publik harus diberikan kepada masyarakat, agar terbentuk satu kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat. Sebab inti dari adanya keterbukaan informasi publik adalah untuk memberikan hak-hak masyarakat, sehingga masyarakat dapat mengontrol setiap perkembangan dan kebijakan yang diambil pemerintah ataupun oleh Badan Publik. Agar semua itu dapat dipertanggung jawabkan pula kepada masyarakat. 

Di Sumatra Barat sendiri keterbukaan informasi publik masih terbilang pasif, sedangkan yang tertuang dalam undang-undang keterbukaan informasi publik sangat diharuskan bersifat massif dan aktif. Bagaimana kedua sisi berbeda ini nampak senjang ketika sudah bicara keterbukaan informasi publik di Sumatra Barat. Propinsi yang memiliki 19 kabupaten ini kerap didera minimnya keterbukaan informasi publik, terlebih pada beberapa kabupaten pangkal dan ujung. Ibukota Sumatra Barat adalah Padang, kota Padang juga acap kali mengalami minimnya keterbukaan informasi publik, informasi yang sifatnya cepat dan akurat masih lambat sampainya dikalangan masyarakat yang tinggal di Ibukota. Bagaimana bisa ini terjadi? Apa yang bisa diharapkan daerah-daerah yang jauh dari Ibukota propinsi, sedangkan pusat dari keterbukaan informasi propinsinya saja demikian. 

Sebuah penelitian kecil-kecilan penulis menemukan beberapa gejala kesenjangan keterbukaan informasi publik di propinsi Sumatra Barat. Ini hanya rangkuman dari pandangan pribadi serta temuan-temuan dilapangan. Keterbukaan informasi publik ini secara harfiah sudah ada sejak lama, barangkali sebelum Indonesia merdeka keterbukaan informasi publik ini juga sudah ada, hanya saja tidak dibuat se-sistematis sekarang ini. Diera serba canggih ini, informasi-informasi dari berbagai media, instansi, lembaga dan lainnya berebut menayangkan informasi-informasi publik secara cepat dan kadang terkesan terburu-buru. Informasi yang seharusnya lebih dulu ditayangkan oleh pihak pemerintahan, malah lebih dulu disebar luaskan oleh media-media non pemerintah. Mengapa bisa demikian? Apakah pihak yang resmi dalam Badan Publik tidak kompeten atau terlalu banyak informasi yang disaring, sehingga serba terlambat. 

Dalam kasus ini, penulis mengambil sampel tahun-tahun dekat saja. Mungkin yang masih segar diingatan masyarakat kita, masyarakat Sumatra Barat. Tentang perobohan bangunan Bangindo Aziz Chan, bangunan yang menjadi sejarah penting kota Padang tersebut akhirnya dirobohkan dan dibangun ulang menjadi gedung Bagaindo Aziz Chan Youth Center. Tentu tujuan pemerintah Padang sangat mulia dan bagus secara perkembangan kota, namun secara perkembangan historis, ini sangat buruk sekali. Terlebih tidak adanya sosialisasi tentang akan dibangunya gedung baru tersebut. Gedung yang megah tersebut sudahlah berdiri, tidak bisa lagi diganggu gugat. Namun ada beberapa informasi yang nampaknya tidak terbuka ke publik tentang pendirian gedung tersebut. Pertama, masyarakat mengira gedung Bagindo Aziz Chan itu sudah menjadi Cagar Budaya. Nyatanya tidak. Kedua, ada satu peraturan/syarat dalam pengajuan Cagar Budaya, yakni, pemerintah ikut serta mengajukan satu bangunan yang berpotensi sebagai Cagar Budaya. Ketiga, pengajuan komunitas kota Padang dalam mengusulkan bangunan tersebut sebagai Cagar Budaya tidak pernah menemukan titik terang. Keempat, tidak adanya keterbukaan informasi publik tentang syarat-syarat pengajuan cagar budaya. 

Itulah yang terjadi di Sumatra Barat saat ini, keterbukaan informasi publik menjadi satu patokan bagi pihak terkait untuk mengambil alih. Seperti yang terjadi di bangunan Bagindo Aziz Chan tersebut. Setelah ditelusuri, ternyata bangunan tersebut belum masuk ke dalam Cagar Budaya Sumatra Barat, padahal gedung itu memiliki sejarah panjang kota Padang, mulai dari masa kolonial sampai kemerdekaan. Gedung yang juga pernah menjadi perpustakaan kolonial itu juga luput dari informasi publik. Tidak banyak yang tau bagaimana gedung itu berdiri, bukan semata-mata sejarah yang dipandang serampangan. Tentu saja penolakan dari berbagai pihak diajukan kepada pemerintah kota Padang, tapi mau bagaimana lagi, pemerintah nampaknya sudah memahami itu, bahwasanya kalau bangunan yang sudah resmi menjadi cagar budaya tidak bisa lagi dirobohkan, hanya bisa direkonstruksi dan diperbaiki. Nah, peluang itulah dimanfaatkan pemerintah kota Padang, merobohkan bangunan tersebut dan menggantinya dengan yang baru, dengan tampilan megah bak kota-kota maju. Padahal dia tidak sadar kota miskin ini untuk hidup beradab saja sudah cukup menggembirakan. Malah membuang-buang uang untuk bangunan yang kegunaanya sendiri belum jelas kearah mana. 

Ada satu peraturan dalam pengajuan cagar budaya, yang tak kalah takjubnya, ada satu peraturan yang menyatakan bahwa; bangunan yang berpotensi sebagai cagar budaya. Ini baru berpontensi saja sudah tidak boleh dirobohkan. Hanya saja peraturan ini belum disahkan, masih dalam tahapan rencana. Sial. Kemudian, dalam proses pengesahan satu cagar budaya, harus dilihat pula apa yang dianggap sebagai cagar budaya. Misalnya bangunan Masjid Muhammad Jamil di Bayang, Pesisir Selatan, ternyata bangunan masjid yang memiliki sejarah penting penyebaran agama Islam itu hanya gobahnya saja masuk dalam cagar budaya, bukan bangunan utuh dari masjid. Lalu, apakah masyarakat tau tentang informasin ini? Jelas tidak. Ini tidak terjadi disatu tempat saja di Sumatra Barat, hampir ditiap-tiap kabupaten terjadi. 

Lalu pemerintah mengeluhkan tidak adanya masyarakat yang taat peraturan dan melek informasi. Pertanyaannya, sampai dimana pemerintah mensosialisaikan informasi tersebut? Apakh sudah terbuka, atau main suruk-suruk agar masyarakat tidak tau banyak seluk beluk pemerintahan dan peraturan keterbukaan informasi publik. Dalam aturannya, pemerintah wajib memberitahu informasi yang sifatnya hak masyarakat. Bukan sekedar info-info kepentingan yang berdampak baik bagi pemerintah saja, tapi juga informasi yang menguntungkan bagi masyarakat. Informasi yang membuat masyarakat percaya bahwa mereka tinggal di Sumatra Barat memiliki hak-hak yang pantas mereka dapati. Bukan semata mengeluarkan biaya untuk kepentingan pemerintahan saja. 

Kembali ke bangunan Bagindo Aziz Chan tadi, puncak dari kekecewaan masyarakat adalah ketidakpeduliannya lagi kepada sejarah bangunan tersebut. Sehingga setelah mendapati diskusi demikian dan bunyi peraturan tersebut, pemerhati-pemerhati sejarah kota Padang hanya tinggal gigit jari. Sedangkan pemerintah tetap bersikeras membangunan bangunan yang katanya modern itu. Tidak efektif bagi perkembangan masyarakat, padahal masih banyak lagi keperluan yang lebih bersifat darurat. Bangunan hanya akan meninggalkan tepuk tangan untuk pemerintah yang sedang menjabat, setelah itu hanya tinggal gedung megah yang sepi pengguna. Betapa banyaknya gedung-gedung megah dibangun di Kota Padang, sebagian masih tetap dipakai. Sebagian lagi tinggal lembab dan berlumut. 

Keterbukaan informasi publik memang bukanlah perkara mudah, butuh kerja sama dari semua lini sehingga tersaji informasi-informasi akurat dan bisa dipercaya. Pemerintah juga seharusnya menggiring opini publik tentang keterbukaan informasi ini secara langsung, agar masyarakat benar-benar peduli dan merasakan betapa pentingnya. Bukan malah hilang kepercayaan, sehingga keterbukaan informasi publik yang mereka terima bukanlah dari Badan Publik propinsi Sumatra Barat. Ini yang membuat simpangsiur informasi-informasi, kadang mereka menambil informasi dari daerah lain, kemudian mengait-ngaitkannya dengan propinsi Sumbar. Tentu tiap-tiap propinsi memiliki informasi-informasi yang berbeda, meski undang-undang yang melindunginya sama. 


Opini Publik dalam Sejarah

Pentingnya opini publik untuk keterbukaan informasi di Sumatra Barat patut diperhitungkan juga. Bagaimana masyarakat memandang keterbukaan informasi di daerahnya sendiri, sehingga memunculkan satu iklim positif, bukan pesimis. Dalam sejarahnya, sekitar abad-18, sejarah kuno juga dimbui fenomena yang sangat mirip dengan opini publik. Katakanlah sejarah Babilonia dan Asyura kuno mengacu pada pengaruh sikap popular. Para Nabi dan bapa bangsa Israel kuno dan Sanaria dikenal berusaha memengaruhi pendapat orang-orang. Mengacu pada demokrasi langsung kalasik Athena kuno, filsuf berpengaruh Aristoteles menyatakan bahwa dia yang kehilangan dukungan rakyat tidak lagi menjadi raja. 

Selama abad pertengah, kebanyakan orang lebih fokus pada bertahanya wabah dan kelaparan daripada masalah Negara dan politik. Namun, fenomena serupa dengan opini publik. Pada tahun 1191, misalnya, negarawan Inggris William Longchap, uskup Ely, mendapati dirinya diserang oleh lawan-lawan politiknya kerena memperkerjakan penyanyi-penyanyi untuk menyanyikan jasanya sampai-sampai oran-orang membicarakannya seolah-olah tidak ada tandingannya di bumi. 

Sedangkan menurut ahli teori komunikasi Kanada Sherry Devereux Ferguson, sebagian besar teori opini publik abad ke-20 termasuk dalam salah satu dari tiga kategori umum. Pendekatan Populis melihat opini publik sebagai sarana untuk memastikan arus komunikasi yang sehat antara perwakilan terpilih dan orang-orang yang mereka wakili. Kategiru elitis atau konstruksionis sosial menekankan kemudahan opini publik dapat dimanipulasi dan disalahtafsirkan mengingat banyaknya sudut pandang yang berbeda. Ketiga, agak negative, yang dikenal sebagai kritis atau fungsionalis radikal, berpendapat bahwa opini publik sebagian besar dibentuk oleh kekuatan itu, bukan oleh masyarakat umum, termasuk kelompok minoritas.

Kemudian, apa hubungan paparan tersebut dengan keterbukaan informasi publik di Sumatra Barat? Penulis menangkap kesamaan tiga kategori tersebut dengan yang terjadi di Sumatra Barat terkait keterbukaan informasi publik yang terbilang pasif seperti diawal tadi. Bagaimana ketiga kategori tersebut dapat ditangkap secara nyata oleh masyarakat, meski pemerintah pura-pura tidak melakukannya. Seolah-olah masyarakat tidak atu apa yang sebenarnya diperbuat dan disurukkan oleh pemerintah. Hanya saja, masyarakat tidak cukup kuat untuk menyatakan hal-hal yang mereka alami tentang ketidak terbukaan informasi publik di Sumatra Barat. Terlebih masyarakat Sumatra Barat bukanlah tipikel yang mempermasalahkan hal-hal sepele, mereka akan tetap mematuhi peraturan selagi itu bisa mereka sanggupi. Hanya saja, ini seperti fenomena gunung es, suatu waktu akan meletus dan mengeluarkan berbagai macam ketidakterbukaan informasi yang seharusnya masyarakat dapati.

Paparan singkat mengenai opini publik di atas juga bisa menjadi satu referensi untuk memperbaharuan cara kerja keterbukaan informasi publik di Sumatra Barat. Tiga kategori tersebut bila ditarik jaman sekarang, bisa memanfaatkan jasa-jasa tokoh publik, influencer, anak muda, dan orang-orang yang berpengaruh dilingkungan sosialnya. Sehingga tersampaikan satu informasi untuk masyarakat. Pemerintah terkait yang bertanggung jawab soal keterbukaan informasi publik pun tidak perlu naif mengakui bahwa kurangnya jangkauan jaringan, maka perlu kerja sama dengan segala lini. Selagi itu bersifat positif, tidak ada masalah. Masyarakat hanya butuh informasi, bukan soal tetek bengek pemerintahan. Mereka hanya perlu tau, supaya tidak merasa dikibuli dengan aturan-aturan yang seolah-olah dibuat semalaman saja. 

Keterbukaan informasi publik ini sangat penting, pemerintah harus hadir sebagai pemberi informasi yang layak dijadikan patokan. Badan Publik yang memiliki tugas ini hadir sebagai satu wadah bagi masyarakat Sumatra Barat mencari informasi yang akurat dan sesuai ditetapkan pemerintah secara resmi. Sehingga keterbukaan publik di Sumatra Barat kondusif.


Penulis, Arif Purnama Putra



Arif P. Putra
Saya seorang pengarang; menulis Puisi, Cerpen, dan Novel. Saya juga menulis tulisan Ilmiah sebagai alternatif lain mengasah kemampuan menulis saya. Ini merupakan ruang untuk membagikan tulisan-tulisan yang saya hasilkan, baik sudah dimuat media lain ataupun spontan.
Newest Older

Baca Lainnya

Post a Comment

Ikuti Sang Penyair Arif P. Putra